A. PENDAHULUAN
Anak adalah anugerah sekaligus
amanat yang diberikan Allah SWT. kepada setiap orang tuanya. Suatu hal yang
tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan
bagian terpenting dari kebahagiaan setiap rumah tangga. Orang tua atau keluarga
yang telah dikaruniai anak, wajib berterimakasih atau bersyukur hanya kepada
Allah SWT. yang telah memberikan kepadanya kebahagiaan dengan memberikan
karunia berupa keturunan atau anak yang menjadi pujaan hati dan kesayangan,
sekaligus menjadi tumpuan harapan bagi
kebahagiaan masa depannya.
Selain sebagai anugerah atau nikmat,
anak juga merupakan amanat atau titipan Allah SWT. Orang tua wajib
memperlakukan anak-anaknya secara baik dengan memberikan pemeliharaan,
penjagaan, juga pendidikan yang baik, lahir maupun batin, agar di kemudian hari
mereka dapat tumbuh sebagai anak-anak yang shalih dan shalihah yang senantiasa
taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi sesamanya.
Melaksanakan kewajiban memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya ini,
merupakan bentuk lain dari perwujudan rasa syukur kepadaNya. Sebaliknya,
menyia-nyiakan dan tidak memberikan pendidikan yang baik kepada mereka, adalah suatu
bentuk pengkhianatan terhadap nikmat dan amanat yang diberikanNya kepada kita.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan
cara mendidik anak yang baik dan benar dengan memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengannya dalam surah Luqman ayat 12-19. Dalam memahami ayat-ayat
yang terdiri dari butir-butir nasehat Luqman Al-Hakim kepada anaknya tersebut,
penulis menggunakan pendekatan kebahasaan atau pendekatan lughawi, yaitu
berusaha mengetahui pesan-pesan dan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut
pandang bahasa. Sedangkan metode yang dipakai adalah metode filsafati, yaitu
memahami secara filosofis ayat-ayat tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik maka penulis merasa perlu melibatkan penggunaan akal
sehat atau penalaran.
Al-HAKIM KEPADA ANAKNYA
Luqman Al-Hakim adalah sosok teladan
dalam mendidik anak. Keteladanan Luqman Al-Hakim dalam mendidik anak ini telah
diabadikan dalam Al-Qur’an Al-Karim agar menjadi contoh dan pedoman bagai umat
sesudahnya dalam mendidik anak sebagai amanat sekaligus anugerah dari Allah
SWT. Tersebut dalam Surah Luqman ayat 12-19, Allah SWT. telah berfirman:
ولقد
اٰتينا لقمٰن الحكمة ان
اشكر لله و من
يّشكر فإنّما يشكر لنفسه
و من كفر
فإنّ الله غنيّ حميد
(١٢) وإذ
قال لقمٰن لابنه و
هو يعظه يٰبنيّ لا
تشرك بالله إنّ الشّرك
لظلم عظيم (١٣) و وصّين الإنسان
بوالديه حملته أمّه وهنا
على وهن وّ فصٰله
في عامين أن اشكرلي
و لوالديك إليّ
المصير (١٤) و
إن جاهدٰك على أن
تشرك بي ما ليس
لك به علم فلا
تطعهما و صاحبهما في
الدّنيا معروفا وّ اتّبع
سبيل من أناب إليّ
ثمّ إليّ مرجعكم فأنبّئكم
بما كنتم تعملون (١٥)
يٰبنيّ إنّها
إنتك مثقال حبّة من
خردل فتكن في صخرة
أو في السّمٰوٰت أو
في الأرض يأت بها
الله إنّالله لطيف خبير
(١٦) يٰبنيّ
أقم الصّلٰوة و أمر بالمعروف
و انه عن
المنكر و اصبر على
ما أصابك إنّ ذٰلك
من عزم الأمور (١٧) و
لا تصعّر خدّك للنّاس
و لا تمش
في الأرض مرحا إنّ
الله لا يحبّ كلّ
مختال فخور (١٨) و
اقصد بمشيك و
اغضض
من صوتك إنّ أنكر
الأصوات لصوت الحمير (١٩)
12. Dan Sesungguhnya telah Kami
berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan
barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur (kufur), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai
anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada
dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha
mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai.
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat
waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.
[1181]Yang dimaksud dengan Allah
Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimanapun kecilnya.
[1182] Maksudnya: ketika kamu
berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.
Kelompok ayat-ayat ini
menguraikan tentang butir-butir hikmah yang disampaikan Luqman Al-Hakim sebagai
nasehat kepada anaknya. Dimulai dengan Surah Luqman ayat 12 yang berisi
pemberitahuan Allah atas hikmah yang diberikanNya kepada Luqman: “Dan
sesugguhnya Kami telah berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah
kepada Allah, dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur
(kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Para ulama mengajukan aneka
keterangan tentang makna hikmah (الحكمة).
Antara lain bahwa hikmah berarti “Mengetahui yang paling utama dari segala
sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah ilmu amaliah dan amal
ilmiah. Ia adalah ilmu yang didukung oleh amal, dan amal yang tepat dan
didukung oleh ilmu.”
Imam Al-Ghazali memahami kata
hikmah ( الحكمة)
dalam arti pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama, ilmu yang paling utama
dan wujud yang paling agung, yakni Allah SWT. Jika demikian (tulis Al-Ghazali)
Allah adalah Hakim yang sebenarnya. Karena Dia yang mengetahui ilmu yang paling
abadi. Dzat serta sifat-Nya tidak tergambar dalam benak, tidak juga mengalami
perubahan. Hanya Dia yang mengetahui wujud yang paling mulia, karena hanya Dia
yang mengenal hakekat, dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Maka jika Allah telah
menganugerahkan hikmah kepada seseorang, sesungguhnya ia telah memperoleh
kebajikan yang banyak.
Syukur didefinisikan oleh
sementara ulama dengan memfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan
penganugerahannya, yaitu menggunakan nikmat sebagaimana kehendak Pemberi
Anugerah, sehingga penggunaannya itu mengarah sekaligus tertuju kepada ridhanya
Pemberi Anugerah. Tentu saja untuk maksud ini, yang bersyukur perlu mengenali
siapa Penganugerah (Allah SWT), mengetahui nikmat-Nya, serta fungsi dan cara
menggunakan nikmat itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya, sehingga yang
dianugerahi nikmat itu benar-benar dapat menggunakannya sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh sang Pemberi Anugerah.
Ungkapan kata syukur dengan
menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (يشكر)
yang mengandung pengertian masa kini dan masa yang akan datang, menunjukkan
bahwa syukur itu tidaklah bernilai kecuali jika dilakukan secara terus-menerus.
Sedangkan kufur yang menggunakan bentuk madhi atau lampau (كفر) mengisyaratkan petunjuk
agar hal itu jangan terjadi, baik di masa sekarang maupun masa yang akan
datang. Kalau kekufuran itu telah terjadi, Allah akan berpaling dan tidak
menghiraukan pelakunya kecuali jika yang bersangkutan telah bertaubat. Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji, Dia tidak membutuhkan makhlukNya, dan makhluklah
yang membutuhkanNya.
Kata ghaniyyun (غنيّ), artinya Allah bersifat
ghaniy (Maha Kaya) yang tidak membutuhkan selain-Nya, bahkan Dia Maha Suci
dalam segala macam hubungan ketergantungan. Yang sebenar-benarnya kaya adalah
yang tidak butuh kepada sesuatu. Allah menyatakan diri-Nya bahwa Dia tidak
butuh kepada seluruh nakhlukNya. Sebaliknya, betapapun kayanya manusia, mereka
tetap butuh kepada yang memberinya kekayaan, yaitu Allah SWT.
Allah bersifat Hamid (حميد), yang berarti bahwa Dia yang menciptakan
segala kebajikan dengan kehendakNya sendiri tanpa ada paksaan dari pihak
manapun. Jika demikian, maka segala perbuatan-Nya terpuji dan segala yang
terpuji merupakan perbuatan-Nya jua,
sehingga sudah seharusnya kita mengucapkan al-Hamdulillah (segala puji
hanya bagi Allah).
Luqman yang disebut oleh surat
ini adalah seorang tokoh yang diperselisihkan identitasnya. Orang Arab mengenal
dua tokoh yang bernama Luqman. Pertama, Luqman bin ‘Ad. Tokoh ini mereka agungkan
karena wibawa, kepemimpinan, ilmu, kefasihan dan kepandaiannya. Ia kerap sekali
dijadikan sebagai permisalan atau perumpamaan. Tokoh kedua adalah Luqman
Al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak dan perumpamaan-perumpamaannya.
Agaknya dialah yang dimaksud oleh surat ini.
Diriwayatkan bahwa Suwayd bin
Shamit suatu ketika datang ke Mekkah. Ia adalah seorang yang cukup terhormat di
kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah SAW. mengajaknya untuk memeluk agama
Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah SAW, “Mungkin apa yang ada padamu itu
sama dengan apa yang ada padaku.” Rasulullah SAW. bersabda, “Apa yang ada
padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan hikmah Luqman.” Kemudian Rasulullah SAW.
berkata, “Tunjukanlah kepadaku.” Suwayd pun menunjukkannya, lalu Rasulullah SAW.
berasabda, “Sungguh perkataan yang amat baik! Tetapi apa yang ada padaku lebih
baik dari itu. Itulah al-Qur’an yang diturunkan Allah keepadaku untuk menjadi
petunjuk dan cahaya.” Rasulullah lalu membacakan al-Qur’an kepadanya dan
mengajaknya memeluk Islam.
Banyak pendapat mengenai siapa
Luqman Al-Hakim. Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari Nuba, dari penduduk
Ailah. Ada juga yang menyebutnya dari Ethiopia. Pendapat lain mengatakan bahwa
ia berasal dari Mesir Selatan yang berkulit hitam. Ada lagi yang menyatakan
bahwa ia seorang Ibrani. Hampir semua yang menceritakan riwayatnya sepakat
bahwa ia bukanlah seorang Nabi, hanya sedikit saja yang berpendapat bahwa ia
adalah seorang Nabi.
Luqman memulai nasehatnya dengan
menekankan perlunya menghindari syirik (QS. Luqmqn: 13): “Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar.” Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran
tentang wujud dan ke-Esaan Allah. Dalam mendidik anak hal pertama dan paling
utama yang harus didahulukan adalah menanamkan nilai-nilai ‘aqidah atau
pendidikan tauhid. Redaksi pesan yang berbentuk larangan, “jangan
mempersekutukan Allah” untuk menekankan perlunya meninggalkan sesuatu yang
buruk sebelum melaksanakan yang baik. Memang, menyingkirkan keburukan lebih
utama daripada memperbanyak kebajikan dan seburuk-buruknya perkara itu adalah
syirik (menyekutukan Allah).
Surat Luqman ayat 14 yang artinya
”Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, Hanya kepada Aku kembalimu,” dinilai oleh banyak ulama bukan bagian
dari nasehat dan pengajaran Luqman kepada anaknya. Ia disisipkan untuk
menunjukkkan betapa pentingnya penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang
tua itu sehingga menempati posisi kedua setelah pengagungan kepada Allah SWT.
Al-Qur’an sering kali menggandengkan perintah menyembah Allah dan perintah
berbakti kepada kedua orang tua. Kendati nasehat ini bukan nasehat Luqman,
namun tidak berarti bahwa beliau tidak menasehati anaknya dengan nasehat
serupa. Al-Biqa’i menilainya sebagai lanjutan dari nasehat Luqman. Ayat ini
menurutnya bagaikan menyatakan: “Luqman menyatakan hal itu kepada anak-anaknya
sebagai nasehat kepadanya, padahal Kami telah mewasiatkan anaknya dengan wasiat
itu seperti apa yang dinasehatkannya menyangkut hak Kami. Tetapi redaksinya
diubah agar mencakup semua manusia.”
Ayat di atas tidak menyebut jasa
bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi
untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahannya, hal ini berbeda dengan
bapak. Di sisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak lebih ringan
dibandingkan dengan peranan ibu. Setelah pembuahan semua proses kelahiran anak
dipikul oleh ibu sorang diri. Bukan hanya sampai masa kelahirannya, tetapi
berlanjut dengan penyusuan, bahkan lebih dari itu. Memang ayah pun bertanggungjawab
menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat,
tetapi ini tidak langsung menyentuh anak, berbeda dengan peranan ibu. Betapapun
peranan ayah tidak sebesar peranan ibu dalam proses kelahiran anak, namun
jasanya tidak diabaikan, karena itu anak berkewajiban berdoa untuk ayahnya,
sebagaimana berdoa untuk ibunya. Perhatikan doa yang diajarkan al-Qur’an: ربّ ارحمهما كما
ربّيانى صغيرا (Tuhanku! Kasihanilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.) (al-Isra’:24).
AL-Qur’an hampir tidak berpesan
kepada ibu bapak untuk berbuat baik kepada anaknya kecuali sangat terbatas,
yaitu pada larangan membunuh anak. Ini karena seperti riwayat yang dinisbahkan
Ibnu Asyur kepada Luqman di atas, Allah telah menjadikan orang tua secara
naluriah rela kepada anaknya. Kedua orang tua bersedia mengorbankan apa saja
demi anaknya tanpa keluhan. Bahkan mereka memberi kepada anak, namun dalam
pemberian itu sang ayah atau ibu justru merasa menerima dari anaknya. Ini
berbeda dengan anak, yang tidak jarang melupakan sedikit atau banyak jasa-jasa ibu bapaknya.
Di antara hal yang menarik dari
pesan-pesan ayat di atas dan ayat sebelumnya adalah bahwa masing-masing pesan
disertai dengan argumennya: “Jangan mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan-Nya adalah penganiayaan yang besar.” Sedangkan ketika mewasiati
anak menyangkut orang tuanya ditekankannya bahwa “Ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan dan menyapihnya setelah dua tahun
menyusui.” Demikianlah cara mendidik dan mengajari anak yang seharusnya.
Menyampaikan kebenaran hendaknya disertai argumentasi untuk membuktikan
kebenaran itu melalui penalaran akal yang dapat diterima oleh anak. Metode ini
bertujuan agar manusia merasa bahwa ia ikut berperan dalam menemukan kebenaran
dan dengan demikian ia merasa memiliki serta bertanggung jawab untuk
mempertahankannya.
Keterkaitan ayat 13 dan 14 juga menunjukkan adanya urutan kewajiban
untuk berbuat baik, yakni berbuat baik kepada Allah, kemudian berbuat baik
kepada sesama manusia yang didahului dengan kewajiban berbakti kepada orang
tua. Kewajiban mematuhi kedua orang tua dibatasi oleh larangan ketika keduanya,
atau salah satu dari mereka (orang tua) mengajak atau menyuruh kepada pebuatan
syirik. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada Aku kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman; 15). Dalam hal
ini ketaatan kepada Allah SWT. ditempatkan pada posisi yang paling tinggi.
Perintah atau ajakan kedua orang tua tidak perlu ditaati, bahkan wajib ditolak
jika bertentangan dengan dengan ajaranNya. Sekalipun demikian, jangan
memutuskan hubungan dengan kedua orang tua atau tidak menghormatinya.
Bagaimanapun juga, anak tetap berkewajiban mempergauli kedua orang tuanya
dengan cara yang baik, dengan catatan jangan sampai hal ini mengorbankan
prinsip-prinsip aqidah. Tetaplah berbakti kepada keduanya selama tidak
bertentangan dengan ajaran agama, dan ini adalah perintah Allah SWT.
Dalam konteks ini, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Abu Bakar, bahwa ia pernah didatangi oleh
ibunya yang ketika itu masih musyrikah. Asma’ bertanya kepada Rasulullah saw
bagaimana seharusnya ia bersikap. Maka Rasul saw memerintahkannya untuk tetap
menjalin hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta mengunjungi dan
menyambut kunjungannya. Thabathaba’i menulis bahwa hal ini mengandung pesan;
Pertama, bahwa mempergauli dengan baik itu, hanya dalam urusan keduniaan, bukan
keagamaan. Kedua, bertujuan meringankan beban kedua orang tua, dan beban tugas
itu hanya untuk sementara yakni selama hidup di dunia yang hari-harinya
terbatas, sehingga tidak mengapalah memikul beban kebaktian kepadanya.
Kemudian pada QS. Luqman ayat 16,
diuraikan tentang kedalaman ilmu Allah SWT. sebagaimana yang telah diisyaratkan
pula pada penutup ayat sebelumnya dengan pernyataan-Nya, “…maka Ku-beritakan
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Pada ayat 16 ini dikemukakan
kelanjutan nasehat Luqman Al-Hakim: “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
Ayat ini diakhiri dengan
menunjukkan sifat Allah yaitu Lathif (لطيف) karena Dia selalu menghendaki untuk
makhluk-Nya agar memperoleh kemaslahatan dan kemudahan. Allah telah menyediakan
sarana dan prasarana di jagad raya yang terbentang luas, guna memberikan
kemudahan pula untuk meraihnya. Dia yang bergegas menyingkirkan kegelisahan
pada saat terjadinya cobaan, serta melimpahkan anugerah sebelum tersembul dalam
benak. Dalam konteks ayat ini, agaknya perintah berbuat baik, apalagi kepada
orang tua yang berbeda agama, merupakan salah satu bentuk dari luthf (لطف) Allah SWT. karena betapapun perbedaan atau
perselisihan antara anak dengan kedua orang tuanya, pasti hubungan darah yang
terjalin antara mereka tetap berbekas di hati masing-masing.
Kata berikutnya adalah
Khabir (خبير) yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu
pengetahuan dan kelemahlembutan. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini
bermakna “membelah”, seakan-akan yang bersangkutan membahas sesuatu sampai dia
membelah bumi untuk menemukannya. Pakar dalam bidangnya yang memiliki
pengetahuan mendalam rinci menyangkut hal-hal yang tersesmbunyi, dinamai
khabir. Menurut al-Ghazali, Allah adalah al-Khabir, karena tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya, sekalipun ada hal-hal yang sangat dalam dan yang sangat
disembunyikan oleh makhlukNya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi dalam
kerajaan-Nya, baik di langit maupun di bumi, kecuali pasti diketahui-Nya. Tidak
satu zarrahpun yang bergerak atau yang diam, tidak ada satu jiwapun yang
bergejolak maupun yang tenang tenang, kecuali semua itu ada beritanya di sisi
Allah SWT.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa
kalau ayat yang lalu berbicara tentang keEsaan Allah dan larangan
mempersekutukanNya, maka ayat ini menggambarkan kuasa Allah melakukan
perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia di akhirat nanti. Demikian,
melalui keduanya tergabung uraian tentang keEsaan Allah dan keniscayaan hari
kiamat. Dua prinsip dasar akidah Islam yang sering kali mewakili semua
akidahnya.
Luqman melanjutkan nasehat kepada
anaknya, dimulai dengan perkataan yang dapat menjamin terpeliharanya nilai
tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak, dengan nasehat mendirikan
shalat. Beliau berkata: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Qs. Luqman ayat 17).
Menyuruh mengerjakan ma’ruf
mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum
diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang ke-munkar-an, menuntut agar
yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Itu agaknya yang menjadi sebab
mengapa Luqman tidak memerintahkan anaknya melaksanakan ma’ruf dan menjauhi
munkar, melainkan memerintahkannya untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar. Di sisi lain, hal ini juga bermakna membiasakan diri anak
untuk berbuat sesuatu, dan melaksanakan tuntutan amar ma’ruf nahi munkar yang
dapat menumbuhkan jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial pada dirinya.
Al-Ma’ruf (المعروف) adalah apa yang baik menurut pandangan
masyarakat umum dan telah mereka kenal luas, selama sejalan dengan Al-Khair (الخير) yang berarti kebajikan,
yaitu nilai-nilai Ilahi. AL-Munkar (المنكر) adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka
serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ma’ruf, karena telah menjadi
kesepakatan umum masyarakat, maka sewajarnya ia diperintahkan. Sebaliknya
dengan munkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia perlu dicegah
demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya. Di sisi lain, karena
keduanya merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat muslim yang lain, bahkan bisa berbeda antara
satu waktu dan waktu yang lain dalam satu wilayah tertentu, namun kesemuanya
itu tidak boleh bertentangan nilai-nilai Ilahi, tidak boleh bertentangan dengan
aturan Allah SWT.
Sedangkan sabar (الصّبر) memiliki makna menahan atau konsisten. Karena
orang yang bersabar berarti dia sedang bertahan, menahan diri pada satu sikap.
Seseorang yang sabar akan menahan diri, dan untuk itu ia memerlukan kekukuhan
jiwa dan mental agar dapat mencapai ketinggian derajat yang diharapkannya.
Sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik atau yang terbaik,
keteguhan dan tekad akan terus ada selama masih ada kesabaran.
Nasehat berikutnya, yakni QS. Luqman ayat 18-19: “Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Nasehat Luqman kali ini berkaitan dengan pendidikan akhlak dan sopan santun
dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kemuliaan budi pekerti (akhlaq
al-karimah) merupakan bagian inti dari ajaran yang dibawa Nabi SAW. Oleh karena
itu, dalam mendidik anak, pendidikan akhlak atau budi pekerti merupakan bagian
penting yang sama sekali tidak boleh diabaikan.
Marilah kembali kita cermati
nasehat Luqman Al-Hakim bagian terakhir
ini, dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti seolah beliau mengatakan: “Wahai
anakku, jangan engkau berkeras memalingkan mukamu dari manusia, karena
penghinaan dan kesombongan. Tampillah dihadapan setiap orang dengan wajah yang
berseri penuh rendah hati. Bila engkau melangkah maka janganlah berjalan di
muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut penuh tawadhu’.
Sesungguhnya Alah tidak menyukai (yakni tidak menganugerahi kasih sayang)
kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Bersikaplah sederhana
dalam berjalan, yakni jangan membusungkan dada dan jangan pula merunduk
bagaikan orang sakit. Jangan berlari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan-lahan
menghabiskan waktu. Dan lunakkanlah suaramu sehingga tidak terdengar kasar
bagaikan teriakan keledai.”
Asal manusia dari tanah (bumi),
sehingga hendaknya dia tidak menyombongkan diri dan melangkah angkuh dimuka
bumi. Penulis memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang,
yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat
jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama merasa
lebih dari yang lain dengan menampakkan kesombongan.
C. KESIMPULAN
Mendidik anak yang baik dan benar
hendaknya dimulai dengan memberikan pemahaman tentang kewajiban bersyukur
kepada Allah SWT. dan menjauhi perilaku kufur, dengan berbuat baik kepada Allah
(vertikal) dan berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaanNya (horisontal).
Selanjutnya butir-butir nasihat Luqman kepada anaknya pada ayat 13-19 dapat dipahami sebagai
petunjuk mengenai cara mendidik anak yang baik dan benar. Butir-butir tersebut
dapat digolongkan dan diperincikan sebagai berikut:
1. Berbuat baik kepada Allah, berisi tentang:
a. Pendidikan tauhid, meng-Esakan Allah dan
tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.
b. Pendidikan perilaku ubudiyah untuk
memelihara dan menyuburkan tauhid, seperti shalat, puasa, zakat,dan sebagainya.
c. Pendidikan untuk menanamkan kesadaran
bertanggung jawab dan keyakinan bahwa semua perbuatan akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
SWT.
2. Berbuat baik kepada sesama manusia dan
sesama makhluk ciptaan Allah, meliputi:
a. Pembelajaran untuk berbuat baik kepada
sesama manusia atau lingkungannya yang harus dimulai dari lingkungan terdekat
dan terpenting, yaitu dengan pembelajaran untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua.
b. Pembelajaran untuk taat kepada Allah, membangkitkan
semangat serta kesadaran untuk beramal (berbuat/bekerja) dan melaksanakan tugas
amar ma’ruf nahi munkar (peduli lingkungan).
c. Pendidikan akhlaq, seperti; bersikap sabar,
tahan uji, menghindari perilaku angkuh, sombong, dan sebagainya.
و
الله أعلم
nice banget mantap ni ijin share yaa gan thanks bermanfaat banget
BalasHapus